Oleh Ahmad Dzakirin*
Umar Bey barangkali potret rata-rata pemilih relijius di Turki. Rasional, independen namun memiliki derajat afiliasi ideologis yang kuat. Umar adalah pensiunan pegawai rendahan di Dinas Pendidikan Belediyesi Esenyurt. Seperti kebanyakan warga Turki, usia pensiun bukan berarti berhenti bekerja, dia mengawali karir baru dengan kerja serabutan sebelum kemudian menikmati pekerjaan sebagai pedagang keliling pakaian bersama dengan isteri tercinta.
Perhatian pemerintah untuk menggerakkan sektor ekonomi tentu patut diacungi jempol. Pemerintah kotamadya (Belediyesi) Esenyurt menyelenggarakan pasar kaget setiap hari Jumat di antara ruas jalan pemukiman bertingkat, dekat dengan tempat saya tinggal. Tampaknya, aktivitas ekonomi seperti ini menjadi pemandangan jamak dalam pemerintahan Erdogan. Para pedagang kecil yang tidak memiliiki tempat permanen berkeliling berdagang di pasar-pasar kaget yang disediakan pemerintah.
Namun jangan kaget, kendati harus bekerja keras dan berpeluh keringat, penghasilan mereka relatif tinggi. Saat memulai bisnis, penghasilan Umar sekitar 2000 TL, kemudian meningkat bertahap 4000 TL dan kini stabil di 6000 TL. Dengan kurs sekitar 5000 Rupiah untuk 1 TL, maka Umar berpenghasilan bersih setiap bulannya, sekitar Rp 30 juta. “Alhamdulillah, saya baru saja membeli mobil,” ujarnya bangga.
Saya mengenal pria berusia 65 tahun ini di kantor pemenangan AK parti dekat Ataturk Mahalle, Kirac saat bersama rombongan menuju perayaan 562 Tahun Penaklukan Kota Konstantinopel di pantai Yenikapi, Istanbul. Hadir dalam perayaan raksasa ini membutuhkan kerja keras tersendiri. Kami harus berjalan sekitar 5 Km menuju lokasi karena berjubelnya massa. Dengan berjalan pelan dan tampak terengah-engah, Umar menyusuri jalan disepanjang kota Marmaray hingga ke pantai. Sebagai tuan rumah yang baik, dia selalu mengikuti kami dan memberi saran rute yang diambil.
Untuk kedua kalinya, kami ketemu di Pasar Jumat. Pertemuan kedua ini membawa kepada pembicaraan siapa sosok Umar Bey dan bagaimana pemikirannya. Dia mengaku sebelumnya berasal dari aktivis Refah Parti. Ketika golongan muda dan tua dalam tubuh Mili Gorus berselisih jalan, Umar memilih bergabung dengan Erbakan dan Saadet Parti hingga tidak lama kemudian memutuskan bergabung dengan kelompok muda, AK Parti.
Ada dua setidaknya alasan yang melatari pilihan politiknya.
Pertama, kendati AK Parti bukan partai Islam, namun AK Parti menurutnya merepresentasikan harapan dan aspirasi konstituen Islam.
“Saya mendukung partai ini karena banyak hizmet (pelayananan)-nya kepada masyarakat,” dalihnya.
“Apa gunanya partai Islam jika tidak dapat melayani masyarakat. Partai adalah alat sebagaimana AK Parti juga alat,” tambahnya.
Namun bukannya tidak memiliki pendirian dalam beragama. Umar memiliki posisi jelas dalam beragama. Ketika disinggung konser musik AK Parti yang menghadirkan penyanyi kondang di Laut Hitam, Davud Guloglu pada malam Jumat (5/6), dia enggan hadir.
“Musik bagi saya haram,” alasannya, belum lagi mungkin ikhtilat (bercampurnya laki-laki dan perempuan).
Pandangan Umar merefleksikan pandangan konservatisme Mili Gorus dan dia istiqomah mempertahankan sikap tersebut.
Namun alasan kedua Umar jelas merefleksikan pandangan seorang pemikir politik yang bijaksana. Dukungannya kepada AK Parti adalah dukungan kepada kemaslahatan agama. Kurang lebihnya, demi menjaga kehadiran pemimpin yang relijius dan memperjuangkan nilai-nilai relijiusitas di tengah masyarakat pada satu sisi namun disisi lain mencegah kembali bercokolnya para pemimpin yang membenci Islam.
“Jika saya meninggalkan AK Parti karena sentimen individu dan agama, apa yang akan terjadi pada Turki. Suara umat Islam terpecah dan Turki kembali kepada zaman kegelapan (karena dipimpin partai sekuler dan cenderung memusuhi Islam)”, urainya.
Umar jelas melihat AK Parti bukan merepresentasikan ideal Islam. Untuk seorang yang memegang prinsip Islam, dia mungkin memiliki catatan khusus atas manuver Erdogan saat memutuskan berpisah dengan gerakan Mili Gorus, namun demikian, dia juga memiliki trauma tersendiri atas kepemimpinan rejim sekuler disepanjang usianya.
Pemikiran Umar Bey merefleksikan pemikiran rata-rata pemilih relijius Turki. Bukan kebetulan jika saya mendapati para pengurus AK Parti di tingkat Mahale didominasi oleh para mantan aktivis Refah. Faktanya, Saadet Parti yang merefleksikan orisionalitas pandangan Mili Gorus tidak mampu lolos dari jeratan parliamentary threshold. Jika performan partai Islam sebelumnya bertengger diantara 11 hingga 21 persen maka berarti terdapat sekian besar segmen pemilih partai Islam yang berpindah ke AK Parti untuk alasan yang kurang lebihnya sama dengan pemikiran bijak Umar Bey.
Namun secara umum, pendulum tersebut tidak seterusnya berhenti pada titik stasioner yang sama. Dia juga akan bergerak untuk untuk menemui titik keseimbangannya yang baru (untuk alasan yang lebih rasional) jika AK Parti gagal memenuhi harapan dan aspirasi mereka. “Ingat, AK Parti adalah alat,” simpul Umar Bey.
Wallahu a’lam
*
Ahmad Dzakirin, pengamat Timteng, penulis buku 'Kebangkitan Pos-Islamisme AKP Turki', saat ini sedang berada di Turki. Turki akan menggelar Pemilu Legislatif 7 Juni mendatang.
Belum ada tanggapan untuk "Umar Bey dan Rasionalisme Pemilih Relijius Turki"
Posting Komentar