|
Perayaan HUT RI ke-70 di pulau Sebatik |
by Wahyudi, Sebatik
Tertinggalnya pembangunan di wilayah-wilayah perbatasan Indonesia, ditambah dengan pesatnya kemajuan kota-kota di negeri tetangga, khususnya di wilayah perbatasan Kalimantan Timur, Kalimantan Barat dan Kalimantan Utara yang membuat dominasi ekonomi, sosial hingga politik di wilayah perbatasan, tak pelak memunculkan asumsi publik di masyarakat kita, khususnya masyarakat yang kurang memahami kondisi riil di wilayah perbatasan. Mereka berasumsi bahwa warga negara Indonesia di perbatasan digambarkan sebagai kumpulan masyarakat yang memiliki rasa nasionalisme yang rendah alias tidak cinta NKRI, primitif, terbelakang dan tertinggal. Anggapan-anggapan tersebut tak perlu disangkal melihat fakta-fakta yang memang cukup mendukung asumsi tersebut.
Ketergantungan warga perbatasan akan kebutuhan-kebutuhan pokok dari negeri jiran seolah menjadi sebuah pembenaran asumsi bahwa warga perbatasan lebih cinta negeri orang ketimbang negeri sendiri alias bernasionalisme rendah. Kurangnya akses sarana dan prasarana penunjang yang layak sebagai mesin roda ekonomi yang bisa menghidupi warga perbatasan, sebut saja kecamatan Krayan kabupaten Nunukan yang hingga kini masih terisolir karena sulitnya akses jalan darat sehingga harus ditempuh dengan pesawat perintis untuk menuju ke kota terdekat NKRI, Nunukan atau perbedaan 180 derajat antara struktur wajah Pulau Sebatik Indonesia dengan kota Tawau Malaysia yang megah, bila dilhat dari Google Map menjadi saksi bisu akan kontrasnya pembangunan di negeri tapal batas dengan negeri jiran yang memaksa warga di sana untuk menggantungkan hidupnya kepada negeri tetangga yang lebih mudah dan lebih dekat untuk dijangkau.
Namun, dibalik segala kekurangan yang dialami oleh warga perbatasan, suatu hal yang perlu kita renungi bersama bahwa sebagain besar dari mereka (warga perbatasan) masih tetap mau bertahan dan menetap serta menduduki (
occupation) ujung tanah NKRI tersebut di tengah keterbatasan yang mereka rasakan selama bertahun-tahun bahkan berpuluh-puluh tahun setelah negeri ini merdeka.
Mereka tetap mengakui identitas mereka sebagai warga negara Indonesia di tengah godaan kemakmuran masyarakat negeri seberang yang sesekali meggoda mereka untuk pindah warga negara.
Mereka tetap merayakan acara tujuh belasan dengan kegembiraan meskipun dilakukan dengan penuh kesederhanaan dan apa adanya. Anak-anak mereka yang SD, SMP hingga SMA masih menyanyikan lagu Indonesia raya mesti terbata-bata ketika upacara bendera hari senin bahkan anak-anak mereka pun masih berusaha memutar-mutar lidah mereka untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar di sekolah karena dipaksa oleh guru-guru meskipun lidah mereka sudah terbiasa dengan bahasa negeri jiran.
Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, Apa jadinya tanah-tanah hingga pulau-pulau terluar NKRI bila tidak dihuni oleh mereka? Apa jadinya bila mereka semua bereksodus pindah ke negeri orang supaya bisa hidup dengan layak? Maukah saudara-saudara kita di jakarta dan kota-kota besar lainnya tinggal di sana dan menggantikan posisi mereka dengan segala keterbatasan yang ada di perbatasan. Tahukah anda bahwa kemenangan Malaysia di mahkamah internasional pada tahun 2002 atas kepemilikan pulau sipadan dan ligitan salah satunya adalah karena
effective occupation (pendudukan yang efektif) yang telah dilakukan Malaysia selama bertahun-tahun, dimana sebagian warga Malaysia tinggal dan memelihara pulau tersebut?
Oleh karenanya, sebagai warga negara yang cinta akan negerinya yang utuh dan berdaulat yang merupakan anugerah sekaligus amanah pemberiaan Allah S.W.T kepada kita untuk dijaga dan dirawat, sudah saatnya kita ubah image dan cara pandang serta perlakuan kita terhadap warga perbatasan. Sudah sepatutnya lah kita kemudian memberikan apresiasi kita dan rasa terima kasih kita bahkan layaklah bila mereka kita posisikan sebagai "pahlawan kedaulatan" bangsa ini, karena masih ada mereka yang dengan ikhlas mau menjaga halaman rumah besar kita di sudut-sudut terujungnya dari klaim-klaim kepemilikan orang lain yang sewaktu-waktu hendak pula memiliki hak milik kita. Janganlah kita mengerdilkan, memandang lemah hingga Under Estimate kepada mereka, Mari kita motivasi dan support mereka dan anak-anak mereka supaya mau berfikir maju agar bisa lahir pula SDM-SDM berkualitas di sana seperti layaknya kita di kota-kota besar yang tiap hari mampu memproduksi manusia-manusia berkualitas dari kampus-kampus yang bertebaran di mana-mana. ketahuilah bahwa sesungguhnya harkat dan martabat bangsa kita (seluruh rakyat Indonesia) di mata negara lain ada di sana, dan mereka yang ada di perbatasanlah yang sesungguhnya merepresentasi kita seluruhnya, karena kita adalah mereka dan mereka adalah kita.
Jaya negeriku Indonesia!!
@WahyudiSebatik
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Berterimakasihlah Pada Warga Perbatasan (Refleksi 70 Tahun Kemerdekaan Indonesia)"
Posting Komentar