Oleh Ahmad Dzakirin*
Jujur saja, saya sebenarnya was-was jauh sebelum pencoblosan bahwa suara AK Parti tergerus karena banyak sebab, salah satunya dari Presiden Erdogan sendiri. Kendati sebagai pengamat, saya sangat berharap AK Parti menang lagi, setidaknya untuk
single majority, memerintah tanpa koalisi. Itu harapan dan doa saya, karena menurut saya akan banyak kepentingan umat Islam yang dipertaruhkan jika AK Parti kalah atau gagal membentuk pemerintahan sendiri.
Dalam konteks dunia Islam yang powerless dan helpless, Turki adalah strong voice karena fundamen ekonomi dan politik yang kuat serta derajat politik luar negeri yang menjanjikan. Jujur saja, saya tidak banyak berharap dari negara-negara Arab atau Teluk, setidaknya untuk saat ini. Erdogan menghendaki dunia Muslim yang kuat dan berdaya.
Saya memahami logika berpikir Erdogan bahwa yang bisa membantu dan menyelamatkan dunia Islam dari kenestapaannya adalah umat Islam sendiri. Tidak perlu menyalahkan pihak lain, karena normalnya kita juga tidak meminta orang asing atau bahkan tetangga kita menyelesaikan urusan kita. Untuk itu, kita hendaknya memahami dengan baik perspektif
Fiqh Awlawiyyat (skala prioritas) dan
Fiqh Muwazanat (skala timbangan). Saya juga sedih ketika arah
Arab Spring menjadi babak baru konflik internal umat Islam. Itulah logika Erdogan dan saya menyambut logika tersebut dengan gembira.
Namun bagaimanapun, saya juga cukup khawatir dengan sepak terjang dan maneuver domestik Erdogan dua tahun belakangan. Mudah marah, menyerang lawan politik, perang penyataan dengan oposisi dan bahkan sering
conflictual statement dengan internal AK Parti sendiri. Mulai dengan Abdullah Gul, Ahmet Davutoglu dan terbaru Bulent Arinc. Faktor terakhir ini tentu menjadi amunisi lawan dan dilihat sebagai ketidakmampuan pengendalian dalam komunikasi internal. AK Parti tidak lagi dilihat sebagai kekuatan politik yang solid oleh lawan. Plus, gejala
growing authoritarian Erdogan.
Kendati normal, media barat dan lawan politik jelas tidak adil dan cenderung eksploitatif. Mereka tidak pernah mengkritik negara-negara Teluk yang otokratis dan otoritarian dan bahkan parahnya menyambut pemerintahan kudeta Abdul Fatah as Sisi yang amis darah, sebaliknya tidak henti mencitrakan Erdogan sebagai diktator dan sikap politiknya yang pro dunia Islam sebagai ancaman stabilitas kawasan.
AS dan Barat jelas-jelas
double-speak. Di Jerman, Angela Merkel menerima hangat As Sisi, tentu dengan sedikit basa-basi demokrasi, protes tindakan keras rejim As Sisi kepada pihak oposisi namun setelah itu, perusahaan-perusahaan Barat membukukan kontrak bisnis dengan pemerintah hasil kudeta 138 milyar dollar tahun ini. Saya kira AS masih tetap menjadi penyedia uang dan senjata terbesar kedua setelah Israel kepada rejim despotik Mesir. Standar moral seperti ini yang tidak pelak membangun kebencian dunia Islam. Tidak perlu jadi analis politik cerdas untuk menyimpulkan bahwa
diskrepensi (baca: kemunafikan) itu terjadi karena Erdogan tidak mau tunduk kepada kepentingan mereka.
Kembali kepada manuver politik domestik Erdogan. Sebagai seorang aktivis, saya berharap pelbagai maneuver dan perubahan sikap Erdogan di dekade kedua pemerintahannya tidak mencederai performan politik dan pesona beliau. Hanya saja, sebagai seorang akademisi saya sangat was-was, karena saya sedikit banyak tahu
“how democracy works?” Semua faktor itu tentu akan berpengaruh.
Bagaimanapun 13 tahun berkuasa, AK Parti membutuhkan inovasi dan ide baru. Sukses pembangunan Turki dibawah kepemimpinannya tampak tidak lagi menjadi propaganda yang menyihir, terlebih kecenderungan ekonomi Turki yang melambat. Kendati tesis ini perlu diuji lebih jauh, kemacetan perundingan perdamaian pemerintah dengan Kurdi, naiknya pajak -guyonannya masuk toilet masjidpun dipajaki, komitmen demokrasi dan kebebasan dan akuntabilitas tampaknya menjadi dua paket penting dukungan publik di Turki.
Dan benar, hasil hitung cepat mendukung kekhawatiran saya tadi. Perolehan suara berdasarkan hitung cepat menunjukkan AK Parti mendapatkan suara 258 kursi (40,87 persen) disusul CHP 132 kursi (24,96 persen), MHP 80 kursi (16,29 persen) dan HDP 80 kursi (13,12 persen).
Suara 40 persen adalah basis konstituensi konservatif AK Parti yang telah berkembang. Namun pemilu kali ini, AK Parti gagal menarik suara kelompok liberal dan Kurdi. Bagaimanapun image konflik Erdogan dengan Fethullah Gulen membawa pesan negatif kepada AK Parti dan Erdogan. Kelompok Gulen memiliki harian
Zaman yang memiliki tiras tertinggi di Turki dan sejak 5 tahun lalu telah bergeser menjadi anti-Erdogan. Belum lagi,
systemic assault media Barat atas Erdogan pasca insiden Gezi Park pada 2013.
Beralihnya dukungan masyarakat Kurdi, termasuk konstituen relijius ke HDP menjadi faktor penting lainnya. HDP tidak hanya lolos
parliamentary threshold, namun juga sukses mengembangkan sayap diluar basis konstituensinya. Di wilayah
hot spot seperti Istanbul, HDP untuk pertama kalinya meraih 10-11 kursi di parlemen. Artinya, ada gejala growing disappointment kelompok urban, terdidik, liberal kepada AK Parti. Kemenangan telak HDP di Diyarbakir yang digoncang bom menjadi pembacaan lain. Kali ini, HDP sukses mendapatkan blangko kosong dari elemen liberal dan kelompok kiri karena dianggap sebagai elemen kuat demokrasi menggantikan ‘kemadekan’ proses demokrasi AK Parti.
40 persen, kemenangan mayoritas tipis AK Parti sendiri bukan akhir bagi partai berbasis Islam. Ini celakanya sistem parlementer sehingga harus berkoalisi membentuk pemerintah. (Bandingkan dengan sistem presidensiil di Indonesia). Problemnya, Turki tidak memiliki tradisi yang baik pemerintahan koalisi. Pelbagai pemerintahan koalisi jatuh bangun di Turki karena mosi tidak percaya atau karena rapuhnya koalisi. Ini artinya, jika AK Parti atau pihak oposisi gagal berkoalisi membentuk 50+1 kursi parlemen maka ada kemungkinan pemilu dipercepat.
Sebagai pemenang pemilu, AK Parti memiliki hak membentuk pemerintahan, kemungkinannya dengan HDP atau MHP. Selahettin Dermitas dari HDP berita pagi ini menolak berkoalisi dengan AK Parti demikian pula saya dengar MHP juga menolak. Namun platform politik yang berbeda dan derajat ketidakcocokan MHP dan HDP dalam hemat saya juga menjadi ganjalan utama ketiga partai oposisi berkoalisi. Jika terbentukpun, cenderung rapuh. Ketua MHP memberi dorongan pemilu dipercepat, belum lagi ketidakpuasan internal AKP atas hasil pemilu. Jika demikian, berarti 45 hari sejak proses politik itu terjadi menjadi dasar Presiden menyerukan penyelenggaraan pemilu yang dipercepat. Namun pemilu kali ini memberikan sinyal kuning AK Parti untuk berbenah dan mereformulasi strateginya.
Wallahu A’lam.
*
Ahmad Dzakirin, seorang pengamat Timteng, penulis buku 'Kebangkitan Pos-Islamisme AKP Turki', berbagi catatan seputar Pemilu Turki -- langsung dari Turki.
Belum ada tanggapan untuk "Kemenangan "Lampu Kuning" AKP [ANALISA HASIL PEMILU TURKI]"
Posting Komentar