Oleh Ahmad Dzakirin*
Hasil pemilu Turki kali ini mungkin merefleksikan anekdot tipikal Indonesia. Anda melaporkan kehilangan ayam kepada aparat keamanan namun justru hasilnya senilai kehilangan kambing. Bagi AK Parti, hasil pemilu –mengutip presiden PKS- sebagai kemenangan dengan cita rasa kalah, namun bagi rakyat Turki sendiri, pada awalnya, mereka ‘puas’ dapat menghukum Erdogan karena kecenderungan otoriternya, namun kini harus membayar agak mahal kepuasan tersebut.
Saya tahu publik Turki tidak hendak menggantikan AK Parti atau menggusur Erdogan karena belum ada kelompok oposisi yang kredibel selain partai berbasis Islamis ini, namun hanya menghukum. Mereka menangkap bahasa politik AK Parti maupun Erdogan dalam kampanye, “Onlar Konusur AK Parti Yapar”, "selain AK Parti bisanye omong aje", begitu kurang lebih artinya dalam logat Betawi.
Boleh jadi juga, ini bagian kekonyolan masyarakat modern, acapkali tindakan mereka sering diluar nalar untuk mengejar ‘kepuasan’. Di Barat, mereka bahkan berani membayar mahal untuk barang yang jauh lebih rendah dari nilai ekstrinsiknya. Misalnya, beli baju usang Maryln Monroe dengan harga milyaran.
Lembaga Pemeringkat Kredit Internasional Fitch Ratings baru saja merilis lampu kuning ekonomi ancaman instabilitas politik pasca pemilu. Katanya, hasil pemilu Turki (Baca: anjloknya perolehan suara AK Parti) meningkatkan ketidakpastian politik dan ekonomi di Turki. Akibatnya, Nilai tukar Lira mengalami tekanan yang cukup tinggi. Lira melemah cukup tinggi atas Dollar dan Euro. Tentu jatuhnya mata uang Turki tersebut akan memberi dampak beruntun pada sector ekonomi dan berikutnya instabilitas politik. Kini, nilai tukar Lira atas Dollar AS telah mencapai 2,9 TL, padahal sebelumnya dua hari yang lalu masih bertengger di angka 2,6 TL.
Dalam perbincangan kami dengan supir taksi, guratan kekecewaan dan kekhawatiran mereka tampak terang, seterang matahari. Dia mengkhawatirkan implikasi ‘kekalahan’ AK Parti dalam pemilu kali ini. Dia mengaku tidak pergi ke tempat pencoblosan dengan alasan, “Semua partai dan politisi berbohong.” Kalimat yang sama sebenarnya juga saya dapatkan dari seorang pemuda sekuler beberapa saat lalu di sekitar kompleks Museum Hagia Shopia. Dia mengatakan, “Saya cukup waras untuk mendukung Erdogan meskipun tidak akan mencoblos dalam pemilihan.” Alasannyapun serupa. “Semua partai dan politisi berbohong.”
Hanya saja, sopir taksi kali ini berbeda tipe dan latar belakang. Observasi saya, dia tampak lebih agamis karena –setidaknya- menyetujui kebijakan Erdogan yang mewajibkan pelajaran agama di sekolah. Namun, dia lebih memilih menyopir pada hari Ahad kemarin ketimbang berangkat ke tempat pemungutan suara (TPS). Setelahnya, tersirat jelas penyesalan atas keputusan politik yang diambilnya, tidak berangkat ke TPS dalam pembicaraan kami.
Mungkin benar adagium pemilu yang mengatakan, “Satu Suara Anda Menentukan Masa Depan.” Karena, satu suara sopir taksi ini pada dasarnya merefleksikan sikap politik kolektif dari orang-orang sejenisnya, yang untuk kepentingan pragmatis mendukung Erdogan namun tidak memilihnya. Propaganda dan pencitraan negatif Erdogan sebagai “Sultan Turki” (baca: Diktator) secara terus menerus oleh pihak oposisi dan media Barat telah dibeli rakyat Turki dengan gembira, segembira Simon Perez melihat hasil pemilu Turki. “The Sultan Hamid III Has Fallen.” Demikian, kata nyinyir kelompok oposisi untuk kejatuhan Erdogan.
Dan benar saja, di sepanjang perjalanan kami ke bandara, mulai tampak terlihat kegelisahan kolektif tersebut. Setidaknya itu yang terlihat di beberapa toko emas. Orang-orang berbondong melepas dollarnya atau membeli emas karena lebih stabil nilainya. Kata sahabat saya yang pakar ekonomi, ini terjadi sebagai implikasi kejatuhan nilai tukar Lira. Mungkin ini observasi yang agak berlebihan, namun yang jelas, kegagalan membentuk pemerintahan baru dalam 45 hari pasca pengumuman hasil pemilu tidak pelak akan memberi tekanan signifikan kepada ekonomi Turki setelah satu dasarwarsa lebih dalam kestabilan politik.
Jika boleh saya menyimpulkan, hasil pemilu di Turki seperti anekdot orang yang lapor kehilangan ayam namun justru malah kehilangan kambing. Sedikit tidak relevan namun tampak bersambung dengan realitas yang tengah tumbuh di Turki pasca pemilu. Tepat untuk memperingatkan rakyat Turki dengan idiom Inggris,
“Be careful what you wish for”.
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Hasil Pemilu Turki Ibarat "Lapor Kecurian Ayam Justru Kehilangan Kambing""
Posting Komentar