Oleh Lukman Bin Saleh*
Karena dibangun atas dasar marah dan dendam atas maraknya kasus KKN. Konon undang-undang ini menjelma menjadi undang-undang anti korupsi terketat sejagad. Itulah UU Nomor 31 tahun 1999. Pengertian korupsi pada UU ini paling luas di dunia. Sangat mudah menjadikan orang tersangka. Kita tidak perlu benar-benar korupsi untuk bisa dijerat dengan pasal-pasalnya.
Misalnya seorang kepala daerah mengelola bantuan sosial untuk masyarakat pesisir yang terkena abrasi pantai. Sebelum dana itu tersalurkan, tiba-tiba terjadi banjir bandang. Karena darurat, sang kepala daerah mengalihkan dana itu untuk menangani banjir bandang. Hal semacam ini bisa menyeret sang kepala daerah masuk penjara.
Ratusan penyelenggara negara menjadi korban UU Tipikor. Termasuk kasus mantan Menkum HAM, Deny Indrayana. Dijadikan tersangka oleh Bareskrim POLRI. Gara-gara membuat terobosan dalam pengurusan paspor. Untuk membuat paspor lebih cepat, murah, mudah dan memberantas percaloan, dibuatlah inovasi pebayaran paspor elektronik (payment gateway).
Hanya gara-gara masyarakat dikenakan biaya 5 ribu rupiah untuk membayar jasa penyedia sistem jaringan pembayaran online dan dana pebayaran paspor mengendap beberapa hari di bank, Deny Indrayana menjadi tersangka. Sebelumnya pembayaran paspor dilakukan di kantor imigrasi secara manual. Yang tidak jarang membuat atrean sampai berjam-jam hanya untuk membayar dan rentan percaloan.
Aparat penegak hukum tidak peduli seberapa besar manfaat yang dirasakan oleh masyarakat atas terobosan tersebut. Aparat hanya melihat pasal-pasal UU Tipikor. Bahwa terobosan Deny Indrayana itu tidak ada dasar hukumnya. Menyalahi kewenangan dan merugikan negara. Dan ini termasuk korupsi.
Terakhir dan yang sedang heboh sekarang adalah kasus Dahlan Iskan yang dijadikan tersangka oleh Kejati DKI Jakarta. Jangan dibayangkan Dahlan Iskan menerima gratifikasi, suap atau kongkalikong dalam kasus tersebut. Sebelas-duabelas dengan Deny indrayana. Dahlan Iskan hanya membuat kebijakan membangun gardu induk untuk mengatasi krisis listrik saat itu. Tapi belakangan sebagian gardu induk itu terbengkalai pelaksanaanya. Entah terkendala pembebasan lahan, tidak ada anggaran atau kontraktor nakal. Dahlan Iskan menjadi tersangka korupsi.
Proyek itu dimulai tahun 2011 dan seharusnya sudah rampung tahun 2013. Dahlan Iskan sendiri berhenti menjadi Dirut PLN dipenghujung tahun 2011 karena diangkat menjadi Menteri BUMN oleh Presiden SBY. Dia hanya membuat kebijakan dan menandatangani persetujuan mulainya proyek. Tidak sempat mengawal proyek itu secara langsung sampai selesai.
Dari contoh kasus Dahlan Iskan ini kita bisa bayangkan betapa bahayanya situasi yang dihadapi seorang pejabat. Misalnya seorang kepala daerah membuat satu proyek. Sebelum proyek itu selesai masa jabatannya lebih dahulu berakhir. Sukur-sukur kalau berhasil lagi memenangi Pilkada. Kalau kalah dan penerusnya tidak mau melanjutkan proyek tersebut dengan berbagai alasan. Apalagi sengaja tidak dilanjutkan karena intrik politik. Hal ini tentu sangat memprihatinkan.
Sudah lama situasi seperti ini menjadi keprihatinan beberapa kalangan. Mulai dari akademisi, pemerintah, dan legeislatif. Sejak pemerintahan SBY. Pejabat tidak berani membuat kebijakan. Birokrasi semakin lambat, pembangunan semakin lamban. Hingga dibuat UU Administrasi Pemerintahan (UU Adpem No. 30 tahun 2014). Dengan UU ini, ke depannya suatu kebijakan penyelenggara negara tidak bisa dikriminalisasi lagi.
Dalam UU ini diatur tentang diskresi. Yaitu membolehkan pejabat publik melakukan sebuah kebijakan melanggar UU atau membuat kebijakan yang UU sendiri belum mengaturnya secara tegas. Dengan tiga syarat. Yakni demi kepentingan umum, masih dalam batas wilayah kewenangannya, dan tidak melanggar asas-asas pemerintahan yang baik. Pejabat bebas dalam mengambil keputusan menurut pertimbangannya sendiri. Baik dengan meminta izin atasan atau dilaksanakan sendiri.
Sayangnya sampai saat ini UU tersebut belum disahkan. Masih dalam tahap sosialisasi oleh Kemenpan RB. Sehingga korban-korban dari pejabat yang sebetulnya baik dan kreatif terus bertambah.
Seperti yang dikatakan Wakil ketua DPR, Fachri Hamzah yang menyayangkan penetapan status tersangka terhadap Dahlan Iskan. Dahlan Iskan menurutnya adalah orang yang banyak inisiatif dan rajin membuat terobosan. Karena dia seorang pembisnis. Dan UU Tipikor tidak ramah dengan orang-orang seperti ini.
Fachri Hamzah menyarankan agar UU Tipikor lebih gamblang. Sehingga yang disasar bukan orang yang berbuat salah tapi orang yang berbuat jahat.
Nasi telah menjadi bubur. Dahlan Iskan, Deny Indrayana dan pejabat-pejabat baik lainnya telah menjadi tersangka dan terpidana. Mereka juga telah menyatakan bertanggung jawab. Tidak akan menyalahkan siapa-siapa.
Mereka telah jauh berlari di depan. UU Adpem yang mengatur tentang diskresi masih belum disahkan. Masih dalam perjalanan. Lambat berjalan. *LBS*
*dari fb ybs [
LINK]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Diskresi itu Masih di Jalan Pak Dahlan"
Posting Komentar