Bahkan tokoh Sastrawan yang begitu kritis sekaligus pendiri dan pemilik majalah Tempo, Goenawan Muhamad menyesalkan tindakan kejaksaan menjadikan Dahlan Iskan tersangka korupsi pembangunan gardu induk PLN. Hari-hari ini nampaknya kita sedang dipaksa melihat batas-batas yang kabur antara korupsi dan tidak korupsi, antara orang yang jujur dan tak jujur katanya.
Wapres Jusuf Kalla tidak mau ketinggalan. Kasus Dahlan Iskan membuat pejabat tidak berani membuat keputusan katanya seolah menyindir kejaksaan.
Pemberantasan korupsi salah sasaran kata wakil ketua DPR dari Fraksi PKS, Fachri Hamzah. Penetapan Dahlan Iskan sebagai tersangka adalah kecelakaan kata mantan ketua MK, Mahfud MD.
Kejaksaan harus mikir, bisa membedakan antara kejahatan dan kekeliruan. Orang yang berjasa memperbaiki negara malah dihukum, tidak dihargai kata menteri ESDM, Sudirman Said. Aparat harusnya melihat secara keseluruhan, yang dilakukan Dahlan Iskan untuk kepentingan masyarakat kata Menko perekonomian, Sofyan Djalail.
Dan masih banyak lagi tokoh-tokoh yang menyayangkan penetapan Dahlan Iskan sebagai tersangka.
Belum lagi komentar mantan anak buah Dahlan Iskan semasa di Jawa Pos, PLN atau Kementerian BUMN. Mereka tau kepribadian Dahlan Iskan, Dahlan Iskan tidak mungkin korupsi. Tidak sedikit dari mereka membuat testimoni.
Kita memang tersentak dengan kejadian ini, tidak percaya. Apalagi setelah kita cermati. Penetapan tersangka terhadap Dahlan Iskan hanyalah masalah maladministrasi, salah prosedur. Tidak ada suap, gratifikasi, ‘Apel Malang’, ‘Apel Washingthon’, Dolar Amerika, Dolar Singapur, apalagi rekening gendut. Masyarakat jadi berfikir ulang tentang pemberantasan korupsi selama ini.
Seperti yang dikatakan Miftah Al Zaman dalam komentarnya terhadap tulisan Goenawan Muhamad. Sejarah negeri ini menunjukkan setiap masa selalu ada semacam musuh bersama. Di masa setelah kemerdekaan, musuh bersama itu adalah Belanda, imperialisme, nekolim dan semacamnya. Apa saja yang tidak disukai selalu dikaitkan dengan itu. Apa saja yang dikaitkan dengan itu, adalah hal yang sah untuk disalahkan dan dibenci tanpa fikir panjang.
Masuk masa Orde Baru, musuh bersama itu adalah PKI, komunis, “kiri”. Kini setelah masuk masa reformasi, musuh bersama itu adalah korupsi.
Setiap masa itu selalu memakan tumbalnya masing-masing. Seorang tidak harus menjadi orang bersalah untuk menjadi tumbal. Apa saja bisa jadi alasan bagi seseorang untuk mendapatkan dirinya menjadi orang yang salah. Atau disalah-salahkan. Apalagi yang sedang euforia dengan “semangat zaman.”
Definisi korupsi sudah meluas, tidak sekedar memperkaya diri. Tidak memenuhi aturan administrasi kini sudah dianggap korupsi. Tapi masyarakat masih memahami korupsi dengan definisi lama. Karena itu, yang terkena dakwaan korupsi dianggap pasti memperkaya diri, pasti jahat, harus dihukum.
Timbul ironi. Untuk menghindari korupsi, aturan diperketat, birokrasi diperumit.
Pimpinan yang kreatif dan lincah, tidak akan betah dengan segala ketentuan itu. Kalau diikuti, tidak akan bisa berbuat apa-apa. Atau lambat, tidak selesai-selesai. Maka mereka main terobosan. Menyenggol aturan. Ujung-ujungnya malah menjadi terdakwa korupsi.
Niat mencegah korupsi dengan undang-undang yang begitu rumit, malah menghasilkan koruptor baru. Yang sesungguhnya bukan koruptor, bukan orang jahat.
Dengan kasus Dahlan Iskan yang mencengangkan. Lebih-lebih banyak tokoh besar yang ikut bicara. Semoga kita menyadari. Bahwa pemberantasan korupsi selama ini banyak salah sasaran.
Pembangunan gardu induk terhambat lahan dikatakan korupsi, mencetak sawah baru terhambat lahan dikatakan korupsi, gagal mengembangkan mobil listrik dikatakan korupsi. Kapan majunya Indonesia kalau terus begini. Orang akan takut berbuat. Apalagi yang berbau terobosan yang belum tentu berhasil. Lebih baik duduk nyaman di belakang meja.
Kita harus membidik ulang sasaran. Undang-undang ditata ulang, mindset aparat diterapi. Undang-undang telah melebar ke mana-mana. Aparat sibuk berkutat menggarap orang-orang yang sebenarnya baik.
Sementara masih banyak penjahat sesungguhnya yang tidak tersentuh hukum.
(Lukman Bin Saleh)
Belum ada tanggapan untuk "Dahlan Iskan untuk Terapi Mindset Aparat"
Posting Komentar